Laman

Sabtu, 21 Januari 2012


Ketika saya tahu bahwa Minor Theatre di Arcata ini adalah gedung bioskop yang pertamakali dibangun di Amerika untuk keperluan pertunjukan feature film (dan bukan pertunjukan lain seperti teater atau vaudeville), saya pun googling. Saya ringkaskan di bawah ini.
Bioskop itu terletak di sudut jalan di 1013 H Street, Arcata, California. Dari hotel tempat saya menginap, Hotel Arcata, cukup berjalan kaki tak paling lama sekitar satu menit. Ini adalah gedung teater tertua di Amerika Serikat yang memang dibangun untuk pertunjukan feature film. Bahkan salah satu pemiliknya, David Phillips, berpikir bahwa ini adalah yang tertua di dunia. Bioskop ini dibangun tahun 1914. Sedangkan feature film baru pertamakali dibuat tahun 1912. Jadi bisnis feature film sama sekali belum banyak dan bisa disimpulkan belum ada gedung yang benar-benar dibangun untuk pertunjukan film. Pada masa itu pertunjukan lebih banyak dilakukan di nickelodeons dan one-reel show dan bagian dari vaudeville. Minor Theatre inilah yang pertamakali dibangun untuk menampung pertunjukan feature film. Jadi ini ziarah bersejarah ya.
Bioskop ini dibangun oleh orang kaya di situ, Isaac Minor, bulan Januari 1914. Seorang pengusaha nickelodeons di daerah, seorang perempuan bernama Bert Pettingel menjadi partner Isaac Minor untuk mengelola bioskop ini. Malam pembukaannya adalah pada 3 Desember 1914 memutar film berjudul The Chimes, sebuah film bisu yang konon termasuk film yang sudah tak ada lagi copy-nya. Di auditorium utama terdapat 524 bangku. Pada malam pembukaan itu, semua bangku terisi. Padahal penduduk Arcata waktu itu sedikit di atas 1.000 orang. Foto pembukaan bioskop ini masih dipajang di lobby.
Tahun 1927 bioskop ini menjadi bagian dari rantai usaha bioskop yang dimiliki bersama dengan beberapa bioskop lokal di Humbold County; dan kemudian berpindah-pindah tangan. Hingga akhirnya sekarang menjadi bagian dari Coming Attractions Theatres yang dimiliki oleh John Schweiger yang juga memiliki jaringan Vartsity Theatres.
Awalnya bioskop ini hanya terdiri dari satu auditorium. Namun sekarang sudah ditambahi dengan beberapa ruang pertunjukan lain dan menjadi seperti sineplex pada umumnya. Namun auditorium utama masih dipertahankan seperti apa adanya. Sayangnya ketika saya datang, sedang ada pertunjukan di audiotrium utama dan tak bisa mengambil foto di sana. Kualitas suara di gedung bioskop ini Dolby Stereo atau THX. Film yang diputar di situ adalah Bourne Ultimatum yang sudah saya tonton di DC.
Sampai sekarang bisnis berjalan lancar. Rebecca, asisten manajer bioskop itu menyebut sekitar 50-60 orang per pertunjukan. Bisa lebih pada film-film yang memang box office. Harry Potter kemarin full house. Juga pada film-film serius, kata Rebecca. Film serius? Ya, film-film politik. Tiket untuk Sicko laku keras. “Orang di sini suka pada film-film serius dan film politik” kata Rebecca. Pasti ini ada kaitannya dengan penduduk Arcata, para pemilih partai hijau. Mereka umumnya memang aktif secara politik dan kritis terhadap pemerintahan.
Maka setiap pekan selalu diputar film berbahasa asing, film impor ataupun film distribusi independen. Pekan ini yang diputar adalah Once, sebuah film Irlandia. Ini sudah jadi komitmen pemilik jaringan bioskop ini untuk menyediakan pertunjukan berkualitas, kata Rebecca. Hm, foreign film artinya berkualitas?
Bioskop masih sepi jam pada 7.20 malam ketika saya berada di situ. Pertunjukan berikut, yang akan saya tonton, adalah The Simpsons, jam 8 malam. Di auditorium utama sedang berlangsung Bourne Ultimatum. Ketika saya akan keluar untuk jalan-jalan, kasir sempat berkata: ‘nanti akan ada antrian panjang beli tiket; kamu kasih lihat tiketmu aja dan nggak usah repot ikut antrian’. Saya mengiyakan saja sekalipun tak mengerti dan tak yakin akan ada antrian nanti. Mungkin memang begitu kebiasaan di sini.
Jam 8 kurang lima saya kembali, dan saya memang melihat antrian orang untuk membeli popcorn. Tak banyak, tapi lumayan untuk selasa malam. Saya melirik harga popcorn dan minuman. Mahal: 4 dolar dan air putih 2.50 dan soft drink 3 dolar. Belum pajak. Buku Bordwell, Art of Cinema, memang bilang bahwa bioskop di Amerika bisa tetap dapat untung dari berjualan popcorn dan minuman yang mahal-mahal ini, dan tak semata-mata dari tiket. Keuntungan terbesar dari pertunjukan masih ada di tangan distributor, dan bukan pula produser.
Saya masuk ke ruangan auditorium yang memutar The Simpson, pilihan saya malam itu. Ruangan itu memuat antara 100 – 110 kursi. Kecil, tapi lumayan nyaman. Layarnya tak terlalu besar, dan suara Dolby Stereo. Pengalaman yang tak istimewa. Apalagi The Simpsons Movie juga tak secerdas yang saya bayangkan. Episode-episode TV-nya terlalu legendaris untuk bisa dilampaui oleh film layar lebarnya ini. Bandingkan dua line dari Homer ini:
  • I’m not a religious person but if you’re up there, please help me; Superman!
  • This Book doesn’t have any answer!
Saya kok merasa line “Superman” ini jauh lebih witty dan hilarious ketimbang yang kedua. Selain meledek agama, line ini juga mengacu pada popular culture. Line kedua hanya ledekan pada agama saja. Tapi memang itu masalah adaptasi: jangan membandingkan dengan aslinya. Okelah, saya cukup menikmati kecerobohan dan ingorant-nya Homer sekalipun bagian Alaska-nya itu bagi saya terasa tidak “Simpsonish”. Ini memang cerita feature-length. Harus ada silent moment sebelum titik kulminasi konflik. Beda dengan TV yang isinya constant attack yang setiap 3 menit harus ada hal baru. Mungkin line paling saya suka adalah dari Bart: “He knows me..”
Hm, bioskop tertua di dunia. Mungkin tak terlalu istimewa, karena pemerintah Arcata tak perlu merasa melesatarikan atau memberi sertifikat apapun untuk gedung ini. Beda dengan Hotel Arcata tempat saya menginap yang diberi sertifikat sebagai salah satu gedung bersejarah di Amerika oleh Kementrian Dalam Negeri mereka. “Hotel itu 7 tahun lebih tua daripada gedung ini,” kata Rebecca ketika saya tanya mengenai hal ini. Tapi waktu saya cek di plakat gedung bersejarah itu, tertulis Hotel Arcata dibangun tahun 1915, setahun sesudah Minor Theatre ini. Mungkin bisnis bioskop tak terlalu istimewa untuk dapat endorsement pemerintah, atau mungkin karena gedung bioskop di Amerika banyak sekali yang sama bersejarahnya seperti Minor Theatre ini dan masih beroperasi dengan baik sehingga tak perlu ada endorsement pemerintah. Atau pikiran saya yang masih ngendonesia sehingga setiap ada gedung bersejarah yang terpikirkan adalah perlindungan dari pemerintah. Hehe
Anyway, saya jadi ingat bioskop tua di Jakarta seperti bioskop di jalan Guntur ataupun Metropole. Bioskop tua di jalan Guntur sudah jadi gedung terbengkalai. Entah apakah usaha menjadikan bekas bioskop itu sebagai museum film akan berhasil atau tidak. Jelas butuh dana besar, dan uang pemerintah yang paling mungkin; atau sumbangan dari orang-orang terkaya di Indonesia untuk mewujudkannya? Sedangkan kabar terakhir yang saya dengan tentang Metropole adalah ketika seorang wartawan dari ruangfilm mewawancara saya mengenai rencana untuk merenovasi dan mengubah kompleks Metropole menjadi kompleks bangunan yang lebih cocok dengan selera tahun 2000-an. Benarkah kabar terakhir ini? Saya tak sempat mengecek pada siapapun. Ada yang tahu?
Bagaimana pula dengan bioskop yang berkaitan dengan masa kecil? Viva tempat saya saat kecil menonton film seperti Ratapan Anak Tiri, Nakalnya Anak-Anak, atau Betty Bencong Slebor sudah jadi semacam gudang. Tebet Teater di sebelahnya sudah jadi dealer mobil. Gedung bioskop di Taman Mini di sebelah kolam renang Ambar Tirta yang saya tak tahu namanya dan tempat saya menonton film-film Sundel Bolong-nya Suzanna, dan (saya ingat betul) film Captain America, dan sebuah feature-length dokumenter tentang kehebatan persenjataan pada Perang Malvinas tahun 1982, sekarang entah jadi bangunan apa.
Maaf kalau jadi romantis dan jadi bicara soal seperti itu.
Film memang bukan hal terpenting dalam kehidupan. Apalagi di negeri seperti Indonesia dimana lapangan kerja masih jadi soal lebih penting ketimbang menonton film di tempat yang bagus. Bisnis bioskop dan bisnis film bisa mati. Gedung bioskop bisa diruntuhkan dan dibongkar.
Tak apa. Sekalipun kenangan dan pembentukan kesadaran yang lahir darinya adalah sesuatu yang imortal bagi setiap individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar